Minggu, 27 Mei 2012

INTI PENDIDIKAN adalah BUKU !!

Peduli pendidikan semestinya berupa gerakan  memasyarakatkan gemar membaca buku dan menulis. Momentumnya adalah Hari Kartini 21 April, Hari Pendidikan Nasional 2 Mei dan Hari Buku Nasional 17 Mei. Kartini, pejuang emansipasi perempuan, adalah pembaca buku yang sangat tekun. Ki Hajar Dewantara sebagai perintis pendidikan yang kelahirannya diabadikan sebagai Hari Pendidikan Nasional adalah penulis dan pembaca buku yang sangat tekun.
Berdasarkan amanat UUD 1945 Pasal 31 ayat (1), setiap warga negara berhak mendapat pendidikan. Kualitas pendidikan kita masih tertatih-tatih. Pemerintah kurang peduli terhadap perkembangan pendidikan. Persoalan pendidikan yang sering mengemuka hanya gedung sekolah rusak, kegiatan belajar-mengajar di tempat darurat, belajar di ruang terbuka karena ruang kelas rusak dan kisah-kisah sejenis.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Mohamad Nuh berjanji  pada 2013 tidak ada lagi gedung sekolah (SD/SMP) yang rusak. Alokasi APBN 2012 akan diprioritaskan untuk  memugar  gedung-gedung SD. Ada 153.026 ruang kelas yang rusak berat dengan kebutuhan anggaran Rp20,4 triliun. Sungguh miris membaca berita tentang perkembangan kualitas pendidikan kita.
Belum lagi masalah yang dihadapi para pendidik (guru) sehingga berimbas pada kualitas pengabdian sebagai guru. Para guru disibukkan masalah sertifikasi, perubahan kurikulum, saling berlomba meningkatkan kualitas sekolah dengan cara yang kurang terpuji (menyontek berjemaah demi mencapai lulus 100%), atau karena kurangnya kesejahteraan para guru sehingga siswa menjadi pelampiasan dengan pungutan di luar ketentuan yang semestinya.
Demi meningkatkan pendidikan nasional, setiap langkah guru hendaknya berdasarkan semangat ajaran bapak pendidikan kita, Ki Hajar Dewantara, yakni semboyan ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani (di depan menjadi teladan, di tengah membangun semangat, dari belakang mendukung).
Bangsa yang cerdas adalah bangsa yang warganya suka membaca. Bangsa menjadi besar karena menghargai jasa para pahlawan. Untuk tahu jasa para pahlawan harus membaca sejarah. Menjadi cerdas berprasyarat membaca. Sementara kini, adalah kenyataan bahwa di Indonesia yang tercinta ini masih ada warga negara yang buta huruf. Sebanyak 30% anak buta aksara kembali setelah melek aksara hanya karena lingkungan yang kurang mendukung dengan bahan bacaan. Ini jelas hal yang sungguh memprihatinkan dari wajah pendidikan kita dengan sarana yang serba minim.
Menurut mantan Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat, Haryono Suyono, anak-anak kita mendatang kalau mau menjadi calon presiden jangan dihubungkan dengan tua atau muda tetapi harus diukur dari siapa yang paling banyak membaca. Dulu kita berperang melawan penjajah untuk merdeka. Tapi saat ini kita berperang melawan  kebodohan dan kemiskinan dengan membaca.
Kita harus menerima realitas masih banyak saudara kita sebangsa yang berada pada garis kemiskinan. Bagaimana saudara kita yang miskin bisa membaca, jika mereka masih berpikir apa yang akan dimakan untuk hari esok dan selanjutnya? Apa yang dikatakan mantan Menkokesra itu masih berlaku hingga sekarang. Sampai saat ini belum ada panutan sebaik Soekarno-Hatta. Mereka adalah pemimpin bangsa yang gemar dan sangat tekun membaca. Tidak dapat kita pungkiri bahwa dengan membaca setiap peristiwa akan menambah wawasan seseorang dalam berpikir dan bertindak yang berimbas pada sikap dab perilaku kita. Bacalah buku maka dunia kita genggam.


Budaya Utama
Betapa membaca (buku) merupakan budaya yang harus diutamakan bagi bangsa yang ingin maju, bangsa yang mau menjadi bangsa yang besar dan cerdas. Terabaikannya budaya membaca pelan namun pasti mengakibatkan suatu bangsa  menuju kehancuran moral, budaya, bahkan sejarah. Pemerintah seharusnya peduli pada pembudayaan  membaca melalui pemerataan kesempatan memperoleh  pendidikan.
UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyatakan pendidikan diselenggarakan dengan  mengembangkan budaya membaca, menulis dan berhitung bagi setiap warga negara. Pada saat Malik Fajar menjabat sebagai Menteri Pendidikan Nasional mewacanakan Mei sebagai bulan buku. Tanggal 2 Mei sebagai Hari Pendidikan Nasional untuk mengenang Ki Hajar Dewantara sebagai perintis pendidikan yang diikuti Hari Buku Nasional pada 17 Mei dan sepanjang Mei sebagai bulan buku nasional.
Buku sebagai sarana menuju budaya membaca dan menulis (ditambah berhitung) sesuai tujuan pendidikan nasional untuk mewujudkan bangsa yang cerdas. Mengapa harus buku? Buku tidak murah, namun buku mudah dibawa untuk dibaca di mana pun. Buku bekas pun bermanfaat. Ilmu pengetahuan yang terkandung dalam buku tak lekang oleh waktu. Lain halnya dengan media televisi atau internet yang membutuhkan jaringan listrik, jaringan komputer dan sarana pendukung lainnya.
Permasalahannya bagaimana membudayakan gemar membaca agar generasi kita semakin cerdas? Mari kita sambut Mei sebagai hari buku, bulan buku, sekaligus hari pendidikan demi terwujudnya bangsa yang cerdas. Tema yang diangkat dalam Hari Pendidikan Nasional 2012 yaitu  Bangkitnya Generasi Emas Indonesia.
Kemegahan kalimat tersebut selayaknya dibarengi dengan semangat membaca di kalangan generasi muda kita agar tercapai cita-cita generasi emas sesuai. Sepanjang Mei selayaknya dijadikan pesta buku dalam rangka mencerdaskan bangsa melalui pembudayaan gemar membaca. Pembudayaan gemar membaca antara lain dicontohkan oleh Forum Indonesia Membaca. Strateginya dengan temu komunitas perbukuan dan workshop sampai program diskon buku bekerja sama dengan toko buku dan penerbit.
Alangkah indah jika hari buku maupun bulan buku menjadi wahana tukar-menukar buku atau hibah buku sebagai pemupukan budaya membaca dan menulis yang diselenggarakan oleh setiap satuan pendidikan (sekolah) bekerja sama dengan pemerintah daerah, penerbit dan toko buku. Betapa berjasa para penerbit dalam  melawan kebodohan dan kemiskinan, apabila terbitan yang dihasilkan merupakan terbitan dengan kualitas terjaga.
Ketaatan para penerbit terhadap undang-undang serah-simpan karya cetak dan rekam perlu ditingkatkan. Undang-undang dimaksud adalah UU No 4/1990 tentang Serah-Simpan Karya Cetak dan Karya Rekam. Undang-undang tersebut di antaranya menyatakan setiap penerbit yang berada di wilayah Negara Republik Indonesia wajib menyerahkan dua buah cetakan dari setiap judul karya cetak yang dihasilkan kepada Perpustakaan Nasional dan sebuah kepada perpustakaan daerah di ibukota provinsi yang bersangkutan selambat-lambatnya tiga bulan setelah  diterbitkan. Undang-undang ini harus diberlakukan agar setiap perpustakaan memperoleh setiap terbitan yang diproduksi oleh penerbit.
Sebenarnya, siapakah yang bertanggung jawab dalam hal budaya membaca dan menulis? Berdasarkan UU No 43/2007 tentang Perpustakaan, budaya gemar membaca menjadi tanggung jawab keluarga, satuan pendidikan (sekolah), masyarakat, maupun pemerintah. Pasal 48 UU itu menyatakan pembudayaan gemar membaca difasilitasi oleh pemerintah melalui buku murah dan berkualitas. Jelas kiranya bahwa budaya membaca menjadi tanggung jawab bersama keluarga, sekolah dan pemerintah.
Pembudayaan gemar membaca dilakukan dengan mengembangkan dan memanfaatkan perpustakaan sebagai  proses pembelajaran sepanjang hayat. Sayangnya, tujuan mulia pendirian perpustakaan menjadi sarana peningkatan budaya membaca masih belum mendapat perhatian dari para pendidik maupun pejabat pemerintah.
Sekadar ilustrasi, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mencatat 55,39% SD belum memiliki perpustakaan sekolah. Dari 143.437 SD, ada 79.445 sekolah belum punya perpustakaan. Ini merupakan pekerjaan dan tanggung jawab pemerintah untuk mendirikan perpustakaan dan menjamin ketersediaan koleksinya.
Semoga perpustakaan berdiri merata di seluruh Tanah Air sebagai kewajiban pemerintah dalam mewujudkan generasi emas sesuai tema Hari Pendidikan Nasional tahun ini. Mari kita sambut dan meriahkan Mei sebagai bulan pendidikan bagi siapa pun dan bulan baca buku untuk semua.

Sumber: SOLOPOS halaman 4, 16 Mei 2012 oleh Tri Hardiningtyas: Pustakawati di UNS

1 komentar: