Peduli pendidikan semestinya berupa gerakan memasyarakatkan gemar
membaca buku dan menulis. Momentumnya adalah Hari Kartini 21 April, Hari
Pendidikan Nasional 2 Mei dan Hari Buku Nasional 17 Mei. Kartini,
pejuang emansipasi perempuan, adalah pembaca buku yang sangat tekun. Ki
Hajar Dewantara sebagai perintis pendidikan yang kelahirannya diabadikan
sebagai Hari Pendidikan Nasional adalah penulis dan pembaca buku yang
sangat tekun.
Berdasarkan amanat UUD 1945 Pasal 31 ayat (1), setiap warga negara
berhak mendapat pendidikan. Kualitas pendidikan kita masih
tertatih-tatih. Pemerintah kurang peduli terhadap perkembangan
pendidikan. Persoalan pendidikan yang sering mengemuka hanya gedung
sekolah rusak, kegiatan belajar-mengajar di tempat darurat, belajar di
ruang terbuka karena ruang kelas rusak dan kisah-kisah sejenis.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Mohamad Nuh berjanji pada
2013 tidak ada lagi gedung sekolah (SD/SMP) yang rusak. Alokasi APBN
2012 akan diprioritaskan untuk memugar gedung-gedung SD. Ada 153.026
ruang kelas yang rusak berat dengan kebutuhan anggaran Rp20,4 triliun.
Sungguh miris membaca berita tentang perkembangan kualitas pendidikan
kita.
Belum lagi masalah yang dihadapi para pendidik (guru) sehingga berimbas
pada kualitas pengabdian sebagai guru. Para guru disibukkan masalah
sertifikasi, perubahan kurikulum, saling berlomba meningkatkan kualitas
sekolah dengan cara yang kurang terpuji (menyontek berjemaah demi
mencapai lulus 100%), atau karena kurangnya kesejahteraan para guru
sehingga siswa menjadi pelampiasan dengan pungutan di luar ketentuan
yang semestinya.
Demi meningkatkan pendidikan nasional, setiap langkah guru hendaknya
berdasarkan semangat ajaran bapak pendidikan kita, Ki Hajar Dewantara,
yakni semboyan ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri
handayani (di depan menjadi teladan, di tengah membangun semangat, dari
belakang mendukung).
Bangsa yang cerdas adalah bangsa yang warganya suka membaca. Bangsa
menjadi besar karena menghargai jasa para pahlawan. Untuk tahu jasa para
pahlawan harus membaca sejarah. Menjadi cerdas berprasyarat membaca.
Sementara kini, adalah kenyataan bahwa di Indonesia yang tercinta ini
masih ada warga negara yang buta huruf. Sebanyak 30% anak buta aksara
kembali setelah melek aksara hanya karena lingkungan yang kurang
mendukung dengan bahan bacaan. Ini jelas hal yang sungguh memprihatinkan
dari wajah pendidikan kita dengan sarana yang serba minim.
Menurut mantan Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat, Haryono Suyono,
anak-anak kita mendatang kalau mau menjadi calon presiden jangan
dihubungkan dengan tua atau muda tetapi harus diukur dari siapa yang
paling banyak membaca. Dulu kita berperang melawan penjajah untuk
merdeka. Tapi saat ini kita berperang melawan kebodohan dan kemiskinan
dengan membaca.
Kita harus menerima realitas masih banyak saudara kita sebangsa yang
berada pada garis kemiskinan. Bagaimana saudara kita yang miskin bisa
membaca, jika mereka masih berpikir apa yang akan dimakan untuk hari
esok dan selanjutnya? Apa yang dikatakan mantan Menkokesra itu masih
berlaku hingga sekarang. Sampai saat ini belum ada panutan sebaik
Soekarno-Hatta. Mereka adalah pemimpin bangsa yang gemar dan sangat
tekun membaca. Tidak dapat kita pungkiri bahwa dengan membaca setiap
peristiwa akan menambah wawasan seseorang dalam berpikir dan bertindak
yang berimbas pada sikap dab perilaku kita. Bacalah buku maka dunia kita
genggam.
Budaya Utama
Betapa membaca (buku) merupakan budaya yang harus diutamakan bagi bangsa
yang ingin maju, bangsa yang mau menjadi bangsa yang besar dan cerdas.
Terabaikannya budaya membaca pelan namun pasti mengakibatkan suatu
bangsa menuju kehancuran moral, budaya, bahkan sejarah. Pemerintah
seharusnya peduli pada pembudayaan membaca melalui pemerataan
kesempatan memperoleh pendidikan.
UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyatakan pendidikan
diselenggarakan dengan mengembangkan budaya membaca, menulis dan
berhitung bagi setiap warga negara. Pada saat Malik Fajar menjabat
sebagai Menteri Pendidikan Nasional mewacanakan Mei sebagai bulan buku.
Tanggal 2 Mei sebagai Hari Pendidikan Nasional untuk mengenang Ki Hajar
Dewantara sebagai perintis pendidikan yang diikuti Hari Buku Nasional
pada 17 Mei dan sepanjang Mei sebagai bulan buku nasional.
Buku sebagai sarana menuju budaya membaca dan menulis (ditambah
berhitung) sesuai tujuan pendidikan nasional untuk mewujudkan bangsa
yang cerdas. Mengapa harus buku? Buku tidak murah, namun buku mudah
dibawa untuk dibaca di mana pun. Buku bekas pun bermanfaat. Ilmu
pengetahuan yang terkandung dalam buku tak lekang oleh waktu. Lain
halnya dengan media televisi atau internet yang membutuhkan jaringan
listrik, jaringan komputer dan sarana pendukung lainnya.
Permasalahannya bagaimana membudayakan gemar membaca agar generasi kita
semakin cerdas? Mari kita sambut Mei sebagai hari buku, bulan buku,
sekaligus hari pendidikan demi terwujudnya bangsa yang cerdas. Tema yang
diangkat dalam Hari Pendidikan Nasional 2012 yaitu Bangkitnya Generasi
Emas Indonesia.
Kemegahan kalimat tersebut selayaknya dibarengi dengan semangat membaca
di kalangan generasi muda kita agar tercapai cita-cita generasi emas
sesuai. Sepanjang Mei selayaknya dijadikan pesta buku dalam rangka
mencerdaskan bangsa melalui pembudayaan gemar membaca. Pembudayaan gemar
membaca antara lain dicontohkan oleh Forum Indonesia Membaca.
Strateginya dengan temu komunitas perbukuan dan workshop sampai program
diskon buku bekerja sama dengan toko buku dan penerbit.
Alangkah indah jika hari buku maupun bulan buku menjadi wahana
tukar-menukar buku atau hibah buku sebagai pemupukan budaya membaca dan
menulis yang diselenggarakan oleh setiap satuan pendidikan (sekolah)
bekerja sama dengan pemerintah daerah, penerbit dan toko buku. Betapa
berjasa para penerbit dalam melawan kebodohan dan kemiskinan, apabila
terbitan yang dihasilkan merupakan terbitan dengan kualitas terjaga.
Ketaatan para penerbit terhadap undang-undang serah-simpan karya cetak
dan rekam perlu ditingkatkan. Undang-undang dimaksud adalah UU No 4/1990
tentang Serah-Simpan Karya Cetak dan Karya Rekam. Undang-undang
tersebut di antaranya menyatakan setiap penerbit yang berada di wilayah
Negara Republik Indonesia wajib menyerahkan dua buah cetakan dari setiap
judul karya cetak yang dihasilkan kepada Perpustakaan Nasional dan
sebuah kepada perpustakaan daerah di ibukota provinsi yang bersangkutan
selambat-lambatnya tiga bulan setelah diterbitkan. Undang-undang ini
harus diberlakukan agar setiap perpustakaan memperoleh setiap terbitan
yang diproduksi oleh penerbit.
Sebenarnya, siapakah yang bertanggung jawab dalam hal budaya membaca dan
menulis? Berdasarkan UU No 43/2007 tentang Perpustakaan, budaya gemar
membaca menjadi tanggung jawab keluarga, satuan pendidikan (sekolah),
masyarakat, maupun pemerintah. Pasal 48 UU itu menyatakan pembudayaan
gemar membaca difasilitasi oleh pemerintah melalui buku murah dan
berkualitas. Jelas kiranya bahwa budaya membaca menjadi tanggung jawab
bersama keluarga, sekolah dan pemerintah.
Pembudayaan gemar membaca dilakukan dengan mengembangkan dan
memanfaatkan perpustakaan sebagai proses pembelajaran sepanjang hayat.
Sayangnya, tujuan mulia pendirian perpustakaan menjadi sarana
peningkatan budaya membaca masih belum mendapat perhatian dari para
pendidik maupun pejabat pemerintah.
Sekadar ilustrasi, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mencatat 55,39%
SD belum memiliki perpustakaan sekolah. Dari 143.437 SD, ada 79.445
sekolah belum punya perpustakaan. Ini merupakan pekerjaan dan tanggung
jawab pemerintah untuk mendirikan perpustakaan dan menjamin ketersediaan
koleksinya.
Semoga perpustakaan berdiri merata di seluruh Tanah Air sebagai
kewajiban pemerintah dalam mewujudkan generasi emas sesuai tema Hari
Pendidikan Nasional tahun ini. Mari kita sambut dan meriahkan Mei
sebagai bulan pendidikan bagi siapa pun dan bulan baca buku untuk semua.
Sumber: SOLOPOS halaman 4, 16 Mei 2012 oleh Tri Hardiningtyas: Pustakawati di UNS
semoga bermanfaat dari sumbernya
BalasHapus